Studi Kriminologi
Masalah Penyimpangan Sosial
Pendahuluan
Sebuah masyarakat selalu memiliki alat-alat, baik
dalam bentuk formal maupun informal yang berfungsi untuk menetapkan
norma-norma, mengontrol maupun menindak penyimpangan yang terjadi akibat pelanggaran
terhadap norma-norma tersebut. Pada tataran formal, alat-alat tersebut dapat
berbentuk lembaga resmi yang berfungsi menetapkan aturan dan hukuman yang
sifatnya mengikat. Sehingga pelanggaran terhadap suatu norma formal
berimplikasi pada bentuk hukuman yang telah ditetapkan.
Sementara alat-alat yang bersifat informal semacam
bentuk kearifan lokal yang dimiliki sebuah masyarakat. Dalam pandangan Fukuyama
(2000) norma informal yang bersifat kooperatif berada dalam tatanan suatu
masyarakat disebut sebagai social capital. Di lain pihak, bentuk
kejahatan (ipso facto)dikatakannya merupakan bentuk dari mangkirnya social
capital dalam masyarakat. Karena itu kejahatan itu sendiri merepresentasikan pelanggaran terhadap
norma komunitas.
Pelanggaran terhadap norma komunitas ini secara
logis berarti kesalahan yang bukan saja berimplikasi terhadap korban individu
dari kejahatan tersebut, tapi juga terhadap komunitas yang lebih besar beserta
sistem norma-norma. Itulah sebabnya, dalam kerangka hukum, negaralah yang melakukan
langkah-langkah pencegahaan dan hukuman atas sebuah kejahatan, melalui
perangkat-perangkatnya. Pada konteks ini perangkat formal Negara yang memiliki
kewenangan menegakan norma pencegahaan dan hukuman atas kejahatan adalah
lembaga kepolisian.
Namun demikian, dalam pandangan Fukuyama (2000)
idealnya bentuk kontrol suatu kejahatan yang terbaik bukanlah kekuatan polisi
yang besar atau represif, tetapi sebuah masyarakat yang melakukan sosialisasi
terhadap kaum mudanya untuk mentaati hukum terlebih dahulu dan mengembalikan
para pelanggar hukum ke dalam mainstreammasyarakat yang melakukan
tekanan-tekanan komunitas informal. Dengan kata lain inilah perangkat informal kooperatif yang menurut Fukuyama
dapat dikategorikan sebagai social capital.
Bagi masyarakat Indonesia, persoalan kejahatan
mungkin baru dipandang hanya sebatas urusan sebuah lembaga formal kepolisian.
Kesadaran untuk mensosialisasikan pencegahan terhadap suatu tindak kejahatan,
pada tataran informal baru dilakukan segelintir orang melalui wadah
organisasi/gerakan massa yang terkotak-kotak secara spesifik berdasarkan
orientasi tertentu. Misalnya
saja organisasi yang berorientasi dan berafiliasi pada parpol, agama, maupun
kelompok primordial tertentu. Organisasi dan gerakan massa yang concernpada
masalah spesifik ini dapat dikatakan merupakan salah satu alat informal bagi
masyarakat Indonesia.
Sangat disayangkan bahwa bentuk-bentuk
organisasi atau gerakan massa yang menonjol bukannya sebuah gerakan massa yang
bertujuan mensosialisasikan pencegahan tindak kejahatan secara murni. Organisasi dan gerakan ini kebanyakan
terkungkung hanya dalam suatu isu dan kepentingan tertentu. Maka muncullah
organisasi dan gerakan massa yang bersifat eksklusif dan cenderung ekstrem.
Organisasi seperti ini pada tataran praktiknya, ketika menjalankan fungsinya
sebagai sebuah lembaga informal untuk mencegah dan menjustifikasi sebuah bentuk
kejahatan langsung melakukan perlawan dalam bentuk tindakan yang terkadang juga
menafikkan tatanan hukum dan norma formal.
Pada konteks ini, ketika sebuah organisasi atau
gerakan massa yang tadinya memiliki potensi sebagai social capital bagi
masyarakat, kemudian malah menjadi sebuah gerakan yang meminggirkan alat formal
dengan memangkirkan potensi social capital yang dimilikinya. Sehingga
apa yang direpresentasikan dan dilakukan oleh organisasi atau gerakan massa
seperti ini tidak lain sebuah bentuk penyimpangan terhadap norma dan peralatan
formal suatu masyarakat.
Apabila penyimpangan terhadap suatu norma hukum
masyarakat yang dilakukan pada tataran individu dapat kita dikategorikan
sebagai salah satu bentuk kejahatan, maka penyimpangan yang dilakukan oleh
suatu gerakan atau kelompok massa, dapat dikatakan atau dikategorikan sebagai
sebuah tindakan anarkis. Terminologi anarkis memang biasanya dilekatkan pada
penyimpangan terhadap norma masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok massa.
Maraknya kelompok-kelompok dan gerakaan massa di
Indonesia saat ini melegalkan tindakan mereka sebagai bentuk penegakan hukum,
padahal yang mereka lakukan sebuah pengangkangan norma-norma dan hukum memang
tidak terlepas dari pemahaman mereka atas relasi dan kewenangan antara
perangkat formal dan perangkat informal yang ada dalam sebuah masyarakat. Pada
tataran ideologis, tindakan anarkis yang dilakukan sebuah organisasi atau
gerakan massa ini dapat dikarenakan bermacam-macam alasan. Namun demikian, ada
alasan-alasan mendasar yang setidaknya dapat dijadikan sebagai benang merah
untuk memahami tindakan anarkis yang mereka lakukan. Tulisan ini mencoba untuk
memahami bagaimana pemikiran ideologi yang melandasi tindakan anarkis suatu
gerakan atau kelompok massa dalam perspektif historis, maupun filosofis.
Latar Belakang dan Asumsi Dasar
Anarkisme atau dieja anarkhisme berasal
dari kata dasar anarki dengan imbuhan isme. Kata anarki merupakan kata serapan
dari bahasa Inggris anarchy atau anarchie
(Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata Yunani anarchos/anarchein.
Ini merupakan kata bentukan Anarchos/anarchein yang berarti tanpa
pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan
diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan
dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang yang
mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti
paham/ajaran/ideologi. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan
administrasi, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi
yang didefinisikan secara luaas sebagai pihak yang superior dalam wilayah
ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).
Apa sebenarnya pandangan, visi dan pendirian
filosofis kaum anarkis? Anarkisme mengambil berbagai bentuk dan spektrum, yakni
dari Anarkisme aliran kiri dan esktrim kiri, maupun anarkisme aliran kanan
bahkan sampai anarkisme ekstrim kanan yang berwatak individualistik. Meskipun
anarkisme kelihatannya berakar pada paham kebebasan individual yang liberal,
namun lokasi konflik pahamnya justru pada pada titik yang terletak antara
negara dan masyarakat.
Meskipun terdapat berbagai aliran pemikiran kaum
anarkisme dalam berpendirian terhadap lokasi konflik Negara – masyarakat
tersebut. Namun pendirian-pendirian mereka sesungguhnya secara sederhana dapat
dikategorikan kedalam Anarki individualistik dan anarki sosialistik. Anarki
Individualistik berangkat dari cita-cita kebabasan individual, serta berpangkal
juga dari kedaulatan individual atas pemilikan harta dan kekayaan pribadi,
serta pemilikan privat. Dengan demikian arah anarki individualis ini adalah suatu
bentuk dari anarki kapitalisme.
Sementara anarki kiri yang berwatak sosialistik
justru berangkat dari penolakan kekayaan pribadi dan negara yang menurut mereka
sebagai sumber penyebab dari ketidakadilan sosial. Golongan anarki ini justru
berpendirian perlunya pembatasan kekuasaan dan keperkasaan negara atas individu
dalam kelompok kelompok masyarakat. Pendek kata paham ini adalah perkawinan
antara paham bercorak liberalistik dan sosialisme. Itulah mereka juga disebut
sebagai Sosialisme Libertarian.
Kalau kita telaah perkembangan pemikiran dan
gerakannya, Anarkisme sudah lama sekali berkembang dan pemikiran tersebut
masing berkembang hingga saat ini dengan nama, gaya dan bentuk yang
berbeda-beda. Meskipun sudah lama berkembang, misalnya William Godwin telah
melontarkan gagasan yang diduga menjadi inspirasi paham Kooperasi sosialis
model Owen, namun membincangkan paham anarkisme tidak dapat melupakan bagitu
saja tokoh pemikir Proudhon yang pada dasarnya mengadaaopsi gagaan koperasi
sosialis. Dia melihat bahwa kekuasaan negara dan kekuasaan Modal adalah
sinonim, sehingga mustahil baginya menggunakan negara untuk memperjuangan kaum
proletar.
Belakangan Bakunin melanjutkan gagasan tersebut,
bedanya Bakunin menempuh jalan pengambilalihan secara revolusioner dan kekerasan
untuk membangun kolektivisme. Peter Kropotkin salah seorang pengikutnya Bakunin
melanjutkan gagasan tersebut secara lebih komunistik, yakni dengan menganjurkan
gagasan “segala sesuatu milik setiap orang, dan pembagian didasarkan pada
kebutuhan tertentu masing-masing.
Menurut Jeremy Jennings (dalam Eatwall dan Wright,
2001:180) anarkisme sebagai suatu doktrin mencapai perkembangan puncaknya pada
dasawarsa awal abad ke-20, namun asal usulnya tertanam dalam sejarah Eropa dan
diungkapkan dalam perpaduan “penyimpangan dan nalar” yang unik oleh
James Loll dalam Anarchist. “Penyimpangan dan nalar” dalam
terminologi James Loll ini merujuk pada tatanan masyarakat Eropa abad
pertengahan pasca Renaisans yang melahirkan begitu banyak sempalan kepercayaan
religius dalam aliran agama Kristen dan pemikiran-pemikiran filsafat rasional.
Dalam perkembangannya, anarkisme mendapat kekuatan
dari ide-ide filsafat dan psikologi, prinsip organisasi dan kelas-kelas ekonomi
serta pengalaman pelbagai negara. Pada tahun 1843 Max Stainer menerbitkan buku The
Ego and his Own, suatu karya yang mendalami filsafat Hagelian dan prinsip
utamanya adalah “tak ada yang lebih besar bagiku selain aku”. Di Amerika
muncul anarkisme individualistis yang menentang semua otoritas eksternal dan
bangga dengan kecintaannya pada kepemilikian pribadi dan semangat kepeloporan.
Di Negara lain, khususnya Rusia kehidupan komunal dan agraris petani memberikan
visi masa depan dan landasan bagi anarkisme untuk kritiknya atas kapitalisme.
Di Prancis, Pierre Joseph Proudhoun (1809-1865) adalah sosok pertama yang
secara sadar memakai cap anarkis, yang pertama kali menyalakan revolusi Prancis
1789, “tidak ada otoritas, tidak ada negara, yang ada hanyalah revolusi”
demikian tulis Proudhoun.
Disinilah kemudian anarkisme menemukan bentuk
doktrinnya, yang pada intinya penolakan dan kritik terhadap semua bentuk
otoritas negara serta kekuasaan dan kekerasan yang menyatu menjadi mesin
negara. Ajaran anarkis menurut Paul Eltzbacher (1928) pada intinya
mengingkari otoritas negara. Bentuk kritik atau penolakan terhadap otoritas
negara sebagai sebuah lembaga super yang mengatur kehidupan pribadi masyarakat
inilah yang kemudian menjadi justifikasi terhadap tindakan-tindakan penghakiman
dan penegakan hukum secara parsial dan sewenang-wenang versi mereka.
Inti
pandangan kaum anarkis adalah keunggulan individu dan kebaikan otonomi moral,
dan dalam pandangan ini kaum anarkis menyimpulkan bahwa hanya individu yang
benar-benar bebas yang akan melahirkan moralitas yang bernilai dan layak
dihormati. Dikekang dan dipaksa dengan cara apapun berarti merendahkan dan
mempermalukan manusia. Dalam karya klasik, The General Idea of Revolution in
The Nineteenth Century, Proudhoun menyebutkan:“Diatur oleh pemerintah
adalah terus menerus dilihat, diawasi, dimata-matai, diarahkan, dipandu hukum,
dihitung, didaftar, diberi izin, diperingatkan, dilarang, dikoreksi… itulah
pemerintah.”
Dengan
kata lain pemerintah yang legal merupakan perintang bagi pengembangan individu
dan kelompok. Apabila bagi kebanyakan orang negara dipandang sebagai sebuah
organisasi besar yang menjaga hukum dan ketertiban agar setiap individu dapat
berkembang dalam keadaan tentram dan damai. Menurut kaum anarkis, kenyataan
negara adalah sebaliknya. Negara pada dasarnya merupakan sebuah instrumen
pemaksaan. Pemerintah menjejali dunia dengan kesengsaraan dan penindasan.
Pemerintah merusak dan menghancurkan apa saja yang disentuhnya. Sebagai
pembenaran diri, negara perlu mempertahankan kekacauan, dan dengan demikian
hakikat negara yang sesunguhnya adalah kontraproduktif dan disfungsional.
Rakyat pun dibutakan oleh kebesaran yang memberikan kesucian dan otoritas,
sebagai imbalanya mereka dirampok dan dilecehkan.
Oleh
karena itu, tidaklah mengejutkan apabila citra dan kiasan bagi kaum anarkis
untuk negara adalah penindas. Tidak mengejutkan pula apabila kaum anarkis
selalu memfokuskan pada kritik terhadap instrumen-instrumen tertentu kekuasaan.
Jika negara pada umumnya merupakan ancaman bagi kemerdekaan individu, maka
sistem hukum maupun penegakan hukum dalam pandangan mereka dibuat dan
dijalankan demi kepentingan kelas penguasa dan pemilik kekayaan. Angkatan
bersenjata maupun kepolisian jauh dari tindakan yang melindungi rakyat, justru
menurut kaum anarkis sebagai suatu institusi kekuatan kejam yang dirancang
untuk berperang dan menindas rakyat. Insititusi ini didalam pemerintahan di
pertahankan oleh emosi patriotisme yang dimunculkan secara artifisal, dan
dicirikan dengan kekerasan yang merendahkan dan penyimpangan dalam kehidupan
barak.
Latar belakang doktrin anarkis yang menggangap
negara sebagai sebuah institusi penindas ini menurut Jennings (dalam Eatwall
dan Wright, 2000:182) berakar dari jejak kelaliman yang ditinggalkan monarki
dan otoriter yang menjadi ciri khas abad ke 19 dengan Tsar Rusia sebagai contoh
utamanya. Menjelang abad ke-20 dengan sistem pemerintahan yang dianut
kebanyakan negara adalah
demokrtis lagi-lagi
kaum anarkis melontarkan kritikannya bahwa memberikan suara dan memilih wakil
Rakyat berarti menyerahkan kapasitas seseorang untuk mengerahkan diri. Dalam
pandangan anarkis semua pemerintahan adalah oligarki, pemerintahan yang
dijalankan oleh segelintir orang, dan oleh sebab itu merupakan pemerintahan
kelas.
Salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah
bahwa semua anarkis tanpa disadarinya akan selalu mengkritik kepemilikan
pribadi sampai satu titik dimana kepemilikan adalah sumber hierarki dan
pengistimewaan. Kaum anarkis juga melawan penindasan yang berakar pada norma
dan kebiasaan dalam tatanan yang ada.
Ketika menulis Anarchy in Action pada tahun
1973, Collin Ward menyebutkan bahwa “alternatif anarkis adalah fregmentasi;
perpecahan, bukan penyatuan, keragaman, bukan kesatuan, sekumpulan masyarakat,
bukan satu masyarakat”. Sejalan dengan pendapat ini, kaum anarkis
kontemporer terus menyerukan aktivitas manusia yang bersifat lokal dan langsung
serta menuntut keterlibatan, kemampuan dan kecakapan manusia itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Jennings, kaum anarkis saat ini
tidak memiliki kesamaan dengan kaum Marxis perihal organisasi berbasis kelas
yang tertutup. Bagi mereka cita-cita anarkis adalah “kelompok afinitas” yakni
sekelompok individu yang berfikiran sama dan bergabung secara bebas, mereka
mungkin saja berasal dari beragam kelas.
Pandangan lain yang memperkuat postulat Jennings
ini, dilontarkan oleh Murray Bookchin yang menegaskan bahwa tujuan filosofis
anarkisme adalah memanusiakan masyarakat untuk meninggalkan dunia kebutuhan
menuju dunia kebebasan, dan tujuan ini menurutnya bisa dicapai melalui gaya
hidup komunitarian yang desentralisasi, atau apa yang disebutnya sebagai bentuk
perkumpulan ekologis manusia. Asumsi ini berakar pada filsafat moral yang
menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Manusia secara
metafisika bebas, dan dengan demikian harus mencapai otonomi dimanapun dan
kapanpun.
Tampaknya postulat inilah yang dapat menjelaskan
fenomena maraknya organisasi atau gerakan massa yang bertindak secara anarkis.
Hal ini juga telah disinggung sebelumnya dalam teori sosial klasik yang
kebanyakan ditulis pada pergantian abad ke-19 yang berasumsi bahwa ketika
masyarakat sudah termodernkan, ikatan keluarga akan semakin berkurang dan
digantikan oleh jenis-jenis ikatan sosial yang lebih bersifat impersonal. Jadi
keluarga memiliki arti penting yang semakin berkurang dalam masyarakat yang
benar-benar modern.
Meminjam terminologi Ralf Dahrendorf, Fukuyama
(2000:68) menjelaskan bahwa masyarakat tradisional memiliki sedikit pilihan dan
banyak ligature (yaitu ikatan sosial dengan yang lain); orang memiliki
sedikit pilihan individual yang berkaitan dengan pasangan, pekerjaan, tempat
tinggal, kepercayaan dan di ikat bersama oleh ikatan-ikatan yang sering kali
bersifat menindas dari suku, kasta, agama, kewajiban feudal dan sebagainya.
Dalam masyarakat modern, pilihan-pilihan untuk individu meningkat sangat
banyak, sementara ligatureyang mengikat mereka dalam kewajiban jaringan
social sudah banyak hilang.
Lebih jauh Fukuyama menjelaskan bahwa dalam skenario
yang paling optimistik, kehidupan modern tidak menghapuskan ligature
sama sekali. Ikatan-ikatan sosial dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan dengan
paksaan berganti menjadi ikatan-ikatan yang dilakukan dengan secara sukarela.
Orang menjadi kurang terkait satu sama lain tetapi lebih berhubungan dengan
mereka yang memilih untuk bergabung.
Asumsi-asumsi inilah yang dapat dikemukakan untuk
menjelaskan gerakan / organisasi massa yang sering bertindak secara anarkis
mengangkangi hukum dan norma formal dalam sebuah masyarakat. Tindakan anarkis
selalu diawali pertama-tama dengan pembentukan kelompok-kelompok afinitas
yang berafiliasi pada kepentingan tertentu, dan ini biasanya dilakukan oleh
masyarakat modern yang secara sukarela bergabung dalam kelompok-kelompok
tersebut.
Polarisasi Gerakan Massa Anarkis
Ternyata paham anarkisme tidak sesederhana yang
selama ini dipersepsikan oleh banyak orang. Anarkisme juga memiliki anatomi dan
bentuk gerakan yang bermacam-macam. Menganggap tungal terhadap anarkisme yang
sebenarnya beragam tersebut dapat memunculkan suatu kesalahpahaman yang tidak
perlu. Karena memang paham anarkisme dalam perkembangannya pernah menjadi
pendorong terhadap perubahan sosial menuju suatu masyarakat bebas dari
otoritarianisme menuju pada suatu masyarakat egaliter, tanpa dominasi dan
demokratis.
Gerakan atau organisasi massa yang anarkis dapat
mengambarkan sekaligus bahwa kekacauan dan kejahatan sosial yang meningkat
dengan ditandai menurunnya ikatan keluarga dan kekrabatan (dalam arti hubunganan
darah) sebagai sumber kohesi sosial, serta menurunnya tingkat kepercayaan
terhadap otoritas perangkat Negara untuk menyelesaikan permasalahan dan
penegakan norma-norma dan hukum. Perubahan-perubahan ini ditandai dengan makin
menguatnya kelompok-kelompok / organisasi massa informal yang merupakan
gabungan dari individu-individu yang berlainan kelas, yang berorientasi pada
kepentingan dan tujuan tertentu.
Ketika
otoritas negara dalam penegakan hukum menurut mereka melemah, karena ditandai
dengan banyaknya oknum aparat yang korupsi, maka mereka berhak secara sepihak
menegakan hukum secara sewenang-wenang berdasarkan versi mereka. Bagaimanapun
inti tindakan anarkis adalah pengingkaran dan ketidak percayaan pada otoritas
perangkat negara dalam penegakan dan menjaga norma-norma atau tatanan hukum
formal. Ketika hukum dapat diperjualbelikan, ketika si kaya mendapatkan
perlakuan berbeda dalam masalah hukum maka suatu kelompok massa atau gerakan
massa anarkis akan mendapatkan tempat untuk menjustifikasi dan melegalkan
tindakan anarkis yang mereka lakukan.
Namun
demikian, gerakan atau organisasi massa yang terkadang ekstrim dan sering
melakukan tindakan anarkis di Indonesia, sekurangnya dapat di polarisasikan
kedalam kategori berikut; (1) Gerakan atau organisasi massa yang berafiliasi
pada agama tertentu. Orientasi mereka tidak lain penegakan hukum dan
norma-norma berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang mereka anut (2) Gerakan
atau organisasi massa yang berafiliasi pada partai politik. Orientasi
pergerakan mereka biasanya pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. (3)
Gerakan atau organisasi massa yang berkedok pada primordial kesukuan atau
kelompok, biasanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan ekonomi. Kategori
dan polarisasi yang dibuat ini tidak untuk mengenaralkan tindakan-tindakan
anarkis secara keseluruhan. Namun, sekurangnya dapat menggambarkan
kelompok-kelompok massa yang sering melakukan tindakan-tindakan
anarkis.
Secara
sadar, maupun tanpa disadari, tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok organisasi massa yang ada di Indonesia tersebut semuanya
bermuara pada raport nilai kinerja penegakan hukum formal yang dijalankan oleh
perangkat negara. Dalam pandangan mereka perangkat formal belum dapat
menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai katalis dalam menertibkan
norma-norma masyarakat. Oleh karena itu tindakan yang tergolong anarkis yang
mereka lakukan tidak lain merupakan sebuah penegakkan dan upaya menertibkan
norma-norma hukum yang mereka yakini. Inilah kemudian yang menjustifikasi
tindakan anarkis mereka lakukan.
Penutup
Anarkisme sering dilihat sebagai doktrin yang
reaksioner atau ketinggalan zaman. Anarkis dipandang sebagai benih yang absurd
dan romantic, yang tidak sejalan dengan dunia yang semakin terindustrialisasi,
terurbanisasi dan birokrtis. Namun, bisakah anarkisme hilang dengan mudah,
terutama pada zaman yang semakin skeptis dengan efisiensi dan kewenangan
tindakan Negara? Kendati memiliki kelemahan, kegagalan dan kenaifan, anarkisme
masih memliki sesuatu yang dapat ditawarkan.
Secara lebih umum, sebagai sebuah aliran pemikiran
dan ideologi sosial yang khas, anarkisme terus mengingatkan kepada kita bahwa
individu harus dijunjung tinggi, bahwa ada yang lebih besar daripada sekedar
pencarian kekayaan melalui korupsi yang pada gilirannya menghancurkan tatanan
masyarakat secara keseluruhan. Anarkisme mengajarkan pada kepada kita bahwa
tujuan tidak bisa dilepaskan dari cara, bahwa upaya untuk membangun tatanan
masyarakat melalui taktik penindasan juga niscaya akan berakhir dengan
kegagalan.
Anarkisme juga membuat kita menyadari bahwa
Negara- semua Negara, apapun bentuk, besar dan landasan ideologinya- mempunyai
kecenderungan dan kemampuan untuk mengabadikan diri sebagai institusi,
memperluas kisaran fungsi dan jika perlu mengubah diri menjadi instrument
penindasan dan sensor. Apa yang seharusnya dapat dilakukan aparat penegak hukum
dalam meminimalkan tindakan anarkis tidak lain adalah dengan menjawabnya
melalui upaya peningkatan kinerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar