Minggu, 25 Desember 2011

Nilai dan Norma


Studi Kriminologi
Masalah Penyimpangan Sosial
Pendahuluan 

Sebuah masyarakat selalu memiliki alat-alat, baik dalam bentuk formal maupun informal yang berfungsi untuk menetapkan norma-norma, mengontrol maupun menindak penyimpangan yang terjadi akibat pelanggaran terhadap norma-norma tersebut. Pada tataran formal, alat-alat tersebut dapat berbentuk lembaga resmi yang berfungsi menetapkan aturan dan hukuman yang sifatnya mengikat. Sehingga pelanggaran terhadap suatu norma formal berimplikasi pada bentuk hukuman yang telah ditetapkan.
Sementara alat-alat yang bersifat informal semacam bentuk kearifan lokal yang dimiliki sebuah masyarakat. Dalam pandangan Fukuyama (2000) norma informal yang bersifat kooperatif berada dalam tatanan suatu masyarakat disebut sebagai social capital. Di lain pihak, bentuk kejahatan (ipso facto)dikatakannya merupakan bentuk dari mangkirnya social capital dalam masyarakat. Karena itu kejahatan itu sendiri merepresentasikan pelanggaran terhadap norma komunitas.
Pelanggaran terhadap norma komunitas ini secara logis berarti kesalahan yang bukan saja berimplikasi terhadap korban individu dari kejahatan tersebut, tapi juga terhadap komunitas yang lebih besar beserta sistem norma-norma. Itulah sebabnya, dalam kerangka hukum, negaralah yang melakukan langkah-langkah pencegahaan dan hukuman atas sebuah kejahatan, melalui perangkat-perangkatnya. Pada konteks ini perangkat formal Negara yang memiliki kewenangan menegakan norma pencegahaan dan hukuman atas kejahatan adalah lembaga kepolisian.  
Namun demikian, dalam pandangan Fukuyama (2000) idealnya bentuk kontrol suatu kejahatan yang terbaik bukanlah kekuatan polisi yang besar atau represif, tetapi sebuah masyarakat yang melakukan sosialisasi terhadap kaum mudanya untuk mentaati hukum terlebih dahulu dan mengembalikan para pelanggar hukum ke dalam mainstreammasyarakat yang melakukan tekanan-tekanan komunitas informal. Dengan kata lain inilah perangkat informal kooperatif yang menurut Fukuyama dapat dikategorikan sebagai social capital.  
Bagi masyarakat Indonesia, persoalan kejahatan mungkin baru dipandang hanya sebatas urusan sebuah lembaga formal kepolisian. Kesadaran untuk mensosialisasikan pencegahan terhadap suatu tindak kejahatan, pada tataran informal baru dilakukan segelintir orang melalui wadah organisasi/gerakan massa yang terkotak-kotak secara spesifik berdasarkan orientasi tertentu. Misalnya saja organisasi yang berorientasi dan berafiliasi pada parpol, agama, maupun kelompok primordial tertentu. Organisasi dan gerakan massa yang concernpada masalah spesifik ini dapat dikatakan merupakan salah satu alat informal bagi masyarakat Indonesia. 
Sangat disayangkan bahwa bentuk-bentuk organisasi atau gerakan massa yang menonjol bukannya sebuah gerakan massa yang bertujuan mensosialisasikan pencegahan tindak kejahatan secara murni. Organisasi dan gerakan ini kebanyakan terkungkung hanya dalam suatu isu dan kepentingan tertentu. Maka muncullah organisasi dan gerakan massa yang bersifat eksklusif dan cenderung ekstrem. Organisasi seperti ini pada tataran praktiknya, ketika menjalankan fungsinya sebagai sebuah lembaga informal untuk mencegah dan menjustifikasi sebuah bentuk kejahatan langsung melakukan perlawan dalam bentuk tindakan yang terkadang juga menafikkan tatanan hukum dan norma formal.
Pada konteks ini, ketika sebuah organisasi atau gerakan massa yang tadinya memiliki potensi sebagai social capital bagi masyarakat, kemudian malah menjadi sebuah gerakan yang meminggirkan alat formal dengan memangkirkan potensi social capital yang dimilikinya. Sehingga apa yang direpresentasikan dan dilakukan oleh organisasi atau gerakan massa seperti ini tidak lain sebuah bentuk penyimpangan terhadap norma dan peralatan formal suatu masyarakat.
Apabila penyimpangan terhadap suatu norma hukum masyarakat yang dilakukan pada tataran individu dapat kita dikategorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan, maka penyimpangan yang dilakukan oleh suatu gerakan atau kelompok massa, dapat dikatakan atau dikategorikan sebagai sebuah tindakan anarkis. Terminologi anarkis memang biasanya dilekatkan pada penyimpangan terhadap norma masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok massa.
Maraknya kelompok-kelompok dan gerakaan massa di Indonesia saat ini melegalkan tindakan mereka sebagai bentuk penegakan hukum, padahal yang mereka lakukan sebuah pengangkangan norma-norma dan hukum memang tidak terlepas dari pemahaman mereka atas relasi dan kewenangan antara perangkat formal dan perangkat informal yang ada dalam sebuah masyarakat. Pada tataran ideologis, tindakan anarkis yang dilakukan sebuah organisasi atau gerakan massa ini dapat dikarenakan bermacam-macam alasan. Namun demikian, ada alasan-alasan mendasar yang setidaknya dapat dijadikan sebagai benang merah untuk memahami tindakan anarkis yang mereka lakukan. Tulisan ini mencoba untuk memahami bagaimana pemikiran ideologi yang melandasi tindakan anarkis suatu gerakan atau kelompok massa dalam perspektif historis, maupun filosofis.
Latar Belakang dan Asumsi Dasar

Anarkisme atau dieja anarkhisme berasal dari kata dasar anarki dengan imbuhan isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari bahasa Inggris anarchy atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata Yunani anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan Anarchos/anarchein yang berarti tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administrasi, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luaas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).
Apa sebenarnya pandangan, visi dan pendirian filosofis kaum anarkis? Anarkisme mengambil berbagai bentuk dan spektrum, yakni dari Anarkisme aliran kiri dan esktrim kiri, maupun anarkisme aliran kanan bahkan sampai anarkisme ekstrim kanan yang berwatak individualistik. Meskipun anarkisme kelihatannya berakar pada paham kebebasan individual yang liberal, namun lokasi konflik pahamnya justru pada pada titik yang terletak antara negara dan masyarakat.
Meskipun terdapat berbagai aliran pemikiran kaum anarkisme dalam berpendirian terhadap lokasi konflik Negara – masyarakat tersebut. Namun pendirian-pendirian mereka sesungguhnya secara sederhana dapat dikategorikan kedalam Anarki individualistik dan anarki sosialistik. Anarki Individualistik berangkat dari cita-cita kebabasan individual, serta berpangkal juga dari kedaulatan individual atas pemilikan harta dan kekayaan pribadi, serta pemilikan privat. Dengan demikian arah anarki individualis ini adalah suatu bentuk dari anarki kapitalisme.
Sementara anarki kiri yang berwatak sosialistik justru berangkat dari penolakan kekayaan pribadi dan negara yang menurut mereka sebagai sumber penyebab dari ketidakadilan sosial. Golongan anarki ini justru berpendirian perlunya pembatasan kekuasaan dan keperkasaan negara atas individu dalam kelompok kelompok masyarakat. Pendek kata paham ini adalah perkawinan antara paham bercorak liberalistik dan sosialisme. Itulah mereka juga disebut sebagai Sosialisme Libertarian.
Kalau kita telaah perkembangan pemikiran dan gerakannya, Anarkisme sudah lama sekali berkembang dan pemikiran tersebut masing berkembang hingga saat ini dengan nama, gaya dan bentuk yang berbeda-beda. Meskipun sudah lama berkembang, misalnya William Godwin telah melontarkan gagasan yang diduga menjadi inspirasi paham Kooperasi sosialis model Owen, namun membincangkan paham anarkisme tidak dapat melupakan bagitu saja tokoh pemikir Proudhon yang pada dasarnya mengadaaopsi gagaan koperasi sosialis. Dia melihat bahwa kekuasaan negara dan kekuasaan Modal adalah sinonim, sehingga mustahil baginya menggunakan negara untuk memperjuangan kaum proletar.
Belakangan Bakunin melanjutkan gagasan tersebut, bedanya Bakunin menempuh jalan pengambilalihan secara revolusioner dan kekerasan untuk membangun kolektivisme. Peter Kropotkin salah seorang pengikutnya Bakunin melanjutkan gagasan tersebut secara lebih komunistik, yakni dengan menganjurkan gagasan “segala sesuatu milik setiap orang, dan pembagian didasarkan pada kebutuhan tertentu masing-masing.
Menurut Jeremy Jennings (dalam Eatwall dan Wright, 2001:180) anarkisme sebagai suatu doktrin mencapai perkembangan puncaknya pada dasawarsa awal abad ke-20, namun asal usulnya tertanam dalam sejarah Eropa dan diungkapkan dalam perpaduan “penyimpangan dan nalar” yang unik oleh James Loll dalam Anarchist. “Penyimpangan dan nalar” dalam terminologi James Loll ini merujuk pada tatanan masyarakat Eropa abad pertengahan pasca Renaisans yang melahirkan begitu banyak sempalan kepercayaan religius dalam aliran agama Kristen dan pemikiran-pemikiran filsafat rasional.
Dalam perkembangannya, anarkisme mendapat kekuatan dari ide-ide filsafat dan psikologi, prinsip organisasi dan kelas-kelas ekonomi serta pengalaman pelbagai negara. Pada tahun 1843 Max Stainer menerbitkan buku The Ego and his Own, suatu karya yang mendalami filsafat Hagelian dan prinsip utamanya adalah “tak ada yang lebih besar bagiku selain aku”. Di Amerika muncul anarkisme individualistis yang menentang semua otoritas eksternal dan bangga dengan kecintaannya pada kepemilikian pribadi dan semangat kepeloporan. Di Negara lain, khususnya Rusia kehidupan komunal dan agraris petani memberikan visi masa depan dan landasan bagi anarkisme untuk kritiknya atas kapitalisme. Di Prancis, Pierre Joseph Proudhoun (1809-1865) adalah sosok pertama yang secara sadar memakai cap anarkis, yang pertama kali menyalakan revolusi Prancis 1789, “tidak ada otoritas, tidak ada negara, yang ada hanyalah revolusi” demikian tulis Proudhoun.
Disinilah kemudian anarkisme menemukan bentuk doktrinnya, yang pada intinya penolakan dan kritik terhadap semua bentuk otoritas negara serta kekuasaan dan kekerasan yang menyatu menjadi mesin negara. Ajaran anarkis menurut Paul  Eltzbacher (1928) pada intinya mengingkari otoritas negara. Bentuk kritik atau penolakan terhadap otoritas negara sebagai sebuah lembaga super yang mengatur kehidupan pribadi masyarakat inilah yang kemudian menjadi justifikasi terhadap tindakan-tindakan penghakiman dan penegakan hukum secara parsial dan sewenang-wenang versi mereka.
            Inti pandangan kaum anarkis adalah keunggulan individu dan kebaikan otonomi moral, dan dalam pandangan ini kaum anarkis menyimpulkan bahwa hanya individu yang benar-benar bebas yang akan melahirkan moralitas yang bernilai dan layak dihormati. Dikekang dan dipaksa dengan cara apapun berarti merendahkan dan mempermalukan manusia. Dalam karya klasik, The General Idea of Revolution in The Nineteenth Century, Proudhoun menyebutkan:“Diatur oleh pemerintah adalah terus menerus dilihat, diawasi, dimata-matai, diarahkan, dipandu hukum, dihitung, didaftar, diberi izin, diperingatkan, dilarang, dikoreksi… itulah pemerintah.” 
            Dengan kata lain pemerintah yang legal merupakan perintang bagi pengembangan individu dan kelompok. Apabila bagi kebanyakan orang negara dipandang sebagai sebuah organisasi besar yang menjaga hukum dan ketertiban agar setiap individu dapat berkembang dalam keadaan tentram dan damai. Menurut kaum anarkis, kenyataan negara adalah sebaliknya. Negara pada dasarnya merupakan sebuah instrumen pemaksaan. Pemerintah menjejali dunia dengan kesengsaraan dan penindasan. Pemerintah merusak dan menghancurkan apa saja yang disentuhnya. Sebagai pembenaran diri, negara perlu mempertahankan kekacauan, dan dengan demikian hakikat negara yang sesunguhnya adalah kontraproduktif dan disfungsional. Rakyat pun dibutakan oleh kebesaran yang memberikan kesucian dan otoritas, sebagai imbalanya mereka dirampok dan dilecehkan.
            Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan apabila citra dan kiasan bagi kaum anarkis untuk negara adalah penindas. Tidak mengejutkan pula apabila kaum anarkis selalu memfokuskan pada kritik terhadap instrumen-instrumen tertentu kekuasaan. Jika negara pada umumnya merupakan ancaman bagi kemerdekaan individu, maka sistem hukum maupun penegakan hukum dalam pandangan mereka dibuat dan dijalankan demi kepentingan kelas penguasa dan pemilik kekayaan. Angkatan bersenjata maupun kepolisian jauh dari tindakan yang melindungi rakyat, justru menurut kaum anarkis sebagai suatu institusi kekuatan kejam yang dirancang untuk berperang dan menindas rakyat. Insititusi ini didalam pemerintahan di pertahankan oleh emosi patriotisme yang dimunculkan secara artifisal, dan dicirikan dengan kekerasan yang merendahkan dan penyimpangan dalam kehidupan barak.
Latar belakang doktrin anarkis yang menggangap negara sebagai sebuah institusi penindas ini menurut Jennings (dalam Eatwall dan Wright, 2000:182) berakar dari jejak kelaliman yang ditinggalkan monarki dan otoriter yang menjadi ciri khas abad ke 19 dengan Tsar Rusia sebagai contoh utamanya. Menjelang abad ke-20 dengan sistem pemerintahan yang dianut kebanyakan negara adalah demokrtis           lagi-lagi kaum anarkis melontarkan kritikannya bahwa memberikan suara dan memilih wakil Rakyat berarti menyerahkan kapasitas seseorang untuk mengerahkan diri. Dalam pandangan anarkis semua pemerintahan adalah oligarki, pemerintahan yang dijalankan oleh segelintir orang, dan oleh sebab itu merupakan pemerintahan kelas.
Salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah bahwa semua anarkis tanpa disadarinya akan selalu mengkritik kepemilikan pribadi sampai satu titik dimana kepemilikan adalah sumber hierarki dan pengistimewaan. Kaum anarkis juga melawan penindasan yang berakar pada norma dan kebiasaan dalam tatanan yang ada.
Ketika menulis Anarchy in Action pada tahun 1973, Collin Ward menyebutkan bahwa “alternatif anarkis adalah fregmentasi; perpecahan, bukan penyatuan, keragaman, bukan kesatuan, sekumpulan masyarakat, bukan satu masyarakat”. Sejalan dengan pendapat ini, kaum anarkis kontemporer terus menyerukan aktivitas manusia yang bersifat lokal dan langsung serta menuntut keterlibatan, kemampuan dan kecakapan manusia itu sendiri. 
Lebih lanjut menurut Jennings, kaum anarkis saat ini tidak memiliki kesamaan dengan kaum Marxis perihal organisasi berbasis kelas yang tertutup. Bagi mereka cita-cita anarkis adalah “kelompok afinitas” yakni sekelompok individu yang berfikiran sama dan bergabung secara bebas, mereka mungkin saja berasal dari beragam kelas.    
Pandangan lain yang memperkuat postulat Jennings ini, dilontarkan oleh Murray Bookchin yang menegaskan bahwa tujuan filosofis anarkisme adalah memanusiakan masyarakat untuk meninggalkan dunia kebutuhan menuju dunia kebebasan, dan tujuan ini menurutnya bisa dicapai melalui gaya hidup komunitarian yang desentralisasi, atau apa yang disebutnya sebagai bentuk perkumpulan ekologis manusia. Asumsi ini berakar pada filsafat moral yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Manusia secara metafisika bebas, dan dengan demikian harus mencapai otonomi dimanapun dan kapanpun.    
Tampaknya postulat inilah yang dapat menjelaskan fenomena maraknya organisasi atau gerakan massa yang bertindak secara anarkis. Hal ini juga telah disinggung sebelumnya dalam teori sosial klasik yang kebanyakan ditulis pada pergantian abad ke-19 yang berasumsi bahwa ketika masyarakat sudah termodernkan, ikatan keluarga akan semakin berkurang dan digantikan oleh jenis-jenis ikatan sosial yang lebih bersifat impersonal. Jadi keluarga memiliki arti penting yang semakin berkurang dalam masyarakat yang benar-benar modern.
Meminjam terminologi Ralf Dahrendorf, Fukuyama (2000:68) menjelaskan bahwa masyarakat tradisional memiliki sedikit pilihan dan banyak ligature (yaitu ikatan sosial dengan yang lain); orang memiliki sedikit pilihan individual yang berkaitan dengan pasangan, pekerjaan, tempat tinggal, kepercayaan dan di ikat bersama oleh ikatan-ikatan yang sering kali bersifat menindas dari suku, kasta, agama, kewajiban feudal dan sebagainya. Dalam masyarakat modern, pilihan-pilihan untuk individu meningkat sangat banyak, sementara ligatureyang mengikat mereka dalam kewajiban jaringan social sudah banyak hilang.
Lebih jauh Fukuyama menjelaskan bahwa dalam skenario yang paling optimistik, kehidupan modern tidak menghapuskan ligature sama sekali. Ikatan-ikatan sosial dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan dengan paksaan berganti menjadi ikatan-ikatan yang dilakukan dengan secara sukarela. Orang menjadi kurang terkait satu sama lain tetapi lebih berhubungan dengan mereka yang memilih untuk bergabung.
Asumsi-asumsi inilah yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan gerakan / organisasi massa yang sering bertindak secara anarkis mengangkangi hukum dan norma formal dalam sebuah masyarakat. Tindakan anarkis selalu diawali pertama-tama dengan pembentukan kelompok-kelompok afinitas yang berafiliasi pada kepentingan tertentu, dan ini biasanya dilakukan oleh masyarakat modern yang secara sukarela bergabung dalam kelompok-kelompok tersebut.
Polarisasi Gerakan Massa Anarkis

Ternyata paham anarkisme tidak sesederhana yang selama ini dipersepsikan oleh banyak orang. Anarkisme juga memiliki anatomi dan bentuk gerakan yang bermacam-macam. Menganggap tungal terhadap anarkisme yang sebenarnya beragam tersebut dapat memunculkan suatu kesalahpahaman yang tidak perlu. Karena memang paham anarkisme dalam perkembangannya pernah menjadi pendorong terhadap perubahan sosial menuju suatu masyarakat bebas dari otoritarianisme menuju pada suatu masyarakat egaliter, tanpa dominasi dan demokratis.
Gerakan atau organisasi massa yang anarkis dapat mengambarkan sekaligus bahwa kekacauan dan kejahatan sosial yang meningkat dengan ditandai menurunnya ikatan keluarga dan kekrabatan (dalam arti hubunganan darah) sebagai sumber kohesi sosial, serta menurunnya tingkat kepercayaan terhadap otoritas perangkat Negara untuk menyelesaikan permasalahan dan penegakan norma-norma dan hukum. Perubahan-perubahan ini ditandai dengan makin menguatnya kelompok-kelompok / organisasi massa informal yang merupakan gabungan dari individu-individu yang berlainan kelas, yang berorientasi pada kepentingan dan tujuan tertentu.
            Ketika otoritas negara dalam penegakan hukum menurut mereka melemah, karena ditandai dengan banyaknya oknum aparat yang korupsi, maka mereka berhak secara sepihak menegakan hukum secara sewenang-wenang berdasarkan versi mereka. Bagaimanapun inti tindakan anarkis adalah pengingkaran dan ketidak percayaan pada otoritas perangkat negara dalam penegakan dan menjaga norma-norma atau tatanan hukum formal. Ketika hukum dapat diperjualbelikan, ketika si kaya mendapatkan perlakuan berbeda dalam masalah hukum maka suatu kelompok massa atau gerakan massa anarkis akan mendapatkan tempat untuk menjustifikasi dan melegalkan tindakan anarkis yang mereka lakukan.
            Namun demikian, gerakan atau organisasi massa yang terkadang ekstrim dan sering melakukan tindakan anarkis di Indonesia, sekurangnya dapat di polarisasikan kedalam kategori berikut; (1) Gerakan atau organisasi massa yang berafiliasi pada agama tertentu. Orientasi mereka tidak lain penegakan hukum dan norma-norma berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang mereka anut (2) Gerakan atau organisasi massa yang berafiliasi pada partai politik. Orientasi pergerakan mereka biasanya pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. (3) Gerakan atau organisasi massa yang berkedok pada primordial kesukuan atau kelompok, biasanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan ekonomi. Kategori dan polarisasi yang dibuat ini tidak untuk mengenaralkan tindakan-tindakan anarkis secara keseluruhan. Namun, sekurangnya dapat menggambarkan kelompok-kelompok massa yang sering melakukan tindakan-tindakan anarkis.   
            Secara sadar, maupun tanpa disadari, tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok organisasi massa yang ada di Indonesia tersebut semuanya bermuara pada raport nilai kinerja penegakan hukum formal yang dijalankan oleh perangkat negara. Dalam pandangan mereka perangkat formal belum dapat menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai katalis dalam menertibkan norma-norma masyarakat. Oleh karena itu tindakan yang tergolong anarkis yang mereka lakukan tidak lain merupakan sebuah penegakkan dan upaya menertibkan norma-norma hukum yang mereka yakini. Inilah kemudian yang menjustifikasi tindakan anarkis mereka lakukan.

Penutup   
        
Anarkisme sering dilihat sebagai doktrin yang reaksioner atau ketinggalan zaman. Anarkis dipandang sebagai benih yang absurd dan romantic, yang tidak sejalan dengan dunia yang semakin terindustrialisasi, terurbanisasi dan birokrtis. Namun, bisakah anarkisme hilang dengan mudah, terutama pada zaman yang semakin skeptis dengan efisiensi dan kewenangan tindakan Negara? Kendati memiliki kelemahan, kegagalan dan kenaifan, anarkisme masih memliki sesuatu yang dapat ditawarkan.
Secara lebih umum, sebagai sebuah aliran pemikiran dan ideologi sosial yang khas, anarkisme terus mengingatkan kepada kita bahwa individu harus dijunjung tinggi, bahwa ada yang lebih besar daripada sekedar pencarian kekayaan melalui korupsi yang pada gilirannya menghancurkan tatanan masyarakat secara keseluruhan. Anarkisme mengajarkan pada kepada kita bahwa tujuan tidak bisa dilepaskan dari cara, bahwa upaya untuk membangun tatanan masyarakat melalui taktik penindasan juga niscaya akan berakhir dengan kegagalan.
Anarkisme juga membuat kita menyadari bahwa Negara- semua Negara, apapun bentuk, besar dan landasan ideologinya- mempunyai kecenderungan dan kemampuan untuk mengabadikan  diri sebagai institusi, memperluas kisaran fungsi dan jika perlu mengubah diri menjadi instrument penindasan dan sensor. Apa yang seharusnya dapat dilakukan aparat penegak hukum dalam meminimalkan tindakan anarkis tidak lain adalah dengan menjawabnya melalui upaya peningkatan kinerja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar