Berbicara
kebudayaan Islam tentunya akan selalu bersinggungan dengan budaya Arab dan
Timur-Tengah. Perlu dicatat bahwa tidak semua masyarakat Timur Tengah merupakan
orang Arab. Orang Iran, misalnya, adalah orang bangsa Persia, yang memiliki
bahasa serta budaya tersendiri—meskipun dalam ha-hal tertentu ada kesamaan
dengan budaya Arab. Maka dari itu, menghubungkan budaya Islam dengan hanya
budaya Arab tentunya kurang adil. Apalagi, persebaran Islam di Indonesia
dilakukan bukan hanya oleh satu bangsa saja, melainkan oleh berbagai bangsa
yang berdagang di Indonesia: orang Arab sendiri, Persia, Moor, India, bahkan
Cina.
Persebaran
Islam di Indonesia tak serempak terjadi dalam waktu yang sama, melainkan
berproses melalui aktifitas dagangdan sosial. Oleh karena itu, kekentalan
pengaruh budaya dan ajaran Islam di tiap-tiap tempat di Indonesia tentunya
berbedabeda. Ada masyarakat yang nuansa Islamnya kental, seperti Aceh atau
Banten; adapula masyarakat yang nilai “kefanatikan”
Islamnya
tidak begitu kentara, seperti di Jawa. Dalam bidang kebudayaan, pengaruh Islam
begitu kental sekali, baik dalam bahasa, kesusastraan, arsitektur, seni
kaligrafi, nama-nama hari dan orang, seni tarian dan musik. Bagi orang santri,
cara berpakaian pun sangat kental nuansa Timur- Tengahnya.
1. Huruf, Bahasa, dan Nama-Nama Arab
Al-Quran,
sebagai kitab suci Islam, menggunakan bahasa Arab, bahasa-ibu Nabi Muhammad.
Dalam perkembangannya, bahasa Arab digunakan juga oleh para muslim yang
non-Arab dalam berbagai kegiatan agama, terutama shalat dan mengaji (membaca
Al-Quran). Tak jarang seorang muslim yang pandai membaca Al- Quran dakam bahasa
Arab namun ia kurang atau tidak mengerti arti harfiah teks-teks dalam kitab
suci tersebut. Dan memang salah satu hadis menyatakan bahwa sangat diwajibkan
bagi setiap muslim untuk membaca Quran meski orang bersangkutan tak mengetahui
arti dan makna ayat-ayat yang dibacakan (kecuali ia membaca terjemaahannya).
Dari
kebiasaan tersebut, pengaruh bahasa Arab lambat laut merambat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia. Persebarah bahasa Arab ini lebih cepat dari
pada persebaran bahasa Sansekerta karena dalam Islam tak ada pengkastaan,
karena itu dari raja hingga rakyat jelata mampu berbahasa Arab. Pada mulanya
memang hanya kaum bangsawan saja yang pandai meulis dan membaca huruf dan
bahasa Arab, namun pada selanjutnya rakyat kecil pun mampu berbahasa Arab,
setidaknya membaca dan menulis Arab kendati tak begitu paham akan maknanya.
Penggunaan huruf Arab di Indonesia pertama kali terlihat pada batu nisan di
Leran Gresik, yang diduga makam salah seorang bangsawan Majapahit yang telah
masuk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh huruf dan bahasa Arab
terlihat pada karya-karya sastra di wilayah-wilayah yang keislamannya lumayan
kuat seperti di Sumatera, Sulawesi, Makassar, dan Jawa. Penggunaan bahasa Arab
pun berkembang di pesantren-pesanten Islam.
Penulisan
huruf Arab berkembang pesat ketika karya-karya yang bercorak Hindu-Buddha
disusupi unsur-unsur Islam. Huruf yang lebih banyak dipergunakan adalah aksara
Arab gundul (pegon), yakni abjad arab yang ditulis tanpa tanda bunyi.
Sedangkan bahasanya masih menggunakan bahasa setempat seperti Melayu, Jawa, dan
bahasa-bahasa ibu lainnya. Sebelum bersentuhan dengan budaya Eropa (Portugis
dan Belanda}, kitabkitab (sastra, hukum, sejarah) ditulis dengan huruf pegon
ini. Di samping melalui kesusatraan, penggunaan bahasa dan huruf Arab terjadi
di kalangan pedagang. Dalam kalender Masehi, nama-nama hari yang berjumlah
tujuh dalam seminggu, di Indonesia menggunakan nama-nama Arab, yakni Senin (Isnain),
Selasa (Sulasa), Rabu (Rauba’a), Kamis (Khamis),
Jumat (Jum’at), Sabtu (Sabt). Enam dari tujuh hari tersebut
semuanya berasal dari bahasa Arab, kecuali Minggu (bahasa Arabnya: Ahad)
yang berasal dari Flaminggo dari bahasa Portugis. Hanya orang-orang
tertentu yang menggunakan kata “ahad” untuk hari Minggu.
Pengabadian
istilah “minggu” dilakukan oleh umat Nasrani Portugis ketika melakukan ibadah
di gereja pada hari bersangkutan. Selain huruf, sistem angka (0, 1, 2, 3, dan
seterusnya) pun diadopsi dari budaya Arab; bahkan semua bangsa mempergunakannya
hingga kini. Selain nama-nama hari, nama-nama Arab diterapkan pula pada
nama-nama orang, misalnya Muhammad, Abdullah, Umar, Ali, Musa, Ibrahim, Hasan,
Hamzah, dan lain-lain. Begitu pula kosa kata Arab—kebanyakan diambil dari
kata-kata yang ada dalam Al-Quran—banyak yang dipakai sebagai nama orang,
tempat, lembaga, atau kosakata (kata benda, kerja, dan sifat) yang telah
diindonesikan, contohnya: nisa (perempuan), rahmat, berkah (barokah),
rezeki (rizki), kitab, ibadah, sejarah (syajaratun), majelis
(majlis), hebat (haibat), silaturahmi (silaturahim),
hikayat, mukadimah, dan masih banyak lagi. Banyak di antara kata-kata serapan
tersebut yang telah mengalami pergeseran makna (melebar atau menyempit),
seiring dengan perkembangan zaman.
2. Bangunan Fisik (Arsitektur)
Islam
telah memperkenalkan tradisi baru dalam bentuk bangunan. Surutnya Majapahit
yang diikuti oleh perkembangan agama Islam menentukan perubahan tersebut. Islam
telah memperkenalkan tradisi bangunan, seperti mesjid dan makam. Islam melarang
pembakaran jenazah yang merupakan tradisi dalam ajaran Hindu-Buddha; sebaliknya
jenazah bersangkutan harus dimakamkan di dalam tanah. Maka dari itu, peninggalan
berupa nisan bertuliskan Arab merupakan pembaruan seni arsitektur pada masanya.
Islam pertama kali menyebar di daerah pesisir melalui asimilasi, perdagangan
dan penaklukan militer. Baru pada abad ke-17, Islam menyebar di hampir seluruh
Nusantara. Persebaran bertahap ini, ternyata tidak berpengaruh terhadap
kesamaan bentuk arsitektur di seluruh kawasan Islam. Sebagian arsitektur Islam
banyak terpengaruh dengan tradisi Hindu-Buddha yang juga telah bersatu padu
dengan seni tradisional. Persebaran Islam tidak dilakuan secara revolusioner
yang berlangsung secara tibatiba dan melalui pergolakan politik dan sosial yang
dahsyat.
Memang,
menurut Tome Pires (De Graaf dan Pigeaud),
terdapat penyerbuan secara militer terhadap ibukota Majapahit yang masih
Hindu-Buddha yang dilakukan oleh sejumlah santri dari Kudus yang dipimpin oleh
Sunan Kudus dan Rahmatullah Ngudung atau Undung. (Nama Kudus diambil dari kata
al-Quds atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina, yang merupakan kota suci
umat Islam ketiga setelah Mekah dan Madinah). Namun, secara umumnya proses
islamisasi berlangsung dengan damai. Dengan jalan damai ini, Islam dapat
diterima dengan tangan terbuka. Pembangunan tempat-tempat ibadah tidak
sepenuhnya mengadospi arsitektur Timur Tengah. Ada masjid yang bangunannya
merupakan perpaduan budaya Islam-Hindu- Buddha, misalnya Masjid Kudus—meskipun
pembangunannya diragukan, apakah dibangun oleh umat Hindu atau Islam. Ini
terlihat dari menara masjid yang berwujud seperti candi dan berpatung. Masjid
lain yang bercorak campuran adalah Masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu dan
Masjid Agung Banten. Atap pada Masjid Sunan Kalijaga berbentuk undak-undak
seperti bentuk atap pura di Bali atau candi-candi di Jawa Timur.
Tempat
sentral perubahan seni arsitektur dalam Islam terjadi di pelabuhan yang
meruapkan pusat pembangunan wilayah baru Islam. Sementara para petani di
pedesaan dalam hal seni arsitektur masih mempertahankan tradisi Hindu-Buddha.
Tak diketahui seberapa jauh Islam mengambil tradisi India dalam hal seni,
karena beberapa keraton yang terdapat di Indonesia usianya kurang dari 200
tahun. Pengaruhnya terlihat dari unsur kota. Masjid menggantikan posisi candi
sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Letak makam selalu ditempatkan di
belakang masjid sebagai penghormatan bagi leluhur kerajaan. Adapula makam yang
ditempatkan di bukit atau gunung yang tinggi seperti di Imogiri, makam para
raja Mataram-Islam, yang memperlihatkan cara pandang masyarakat Indonesia
(Jawa) tentang alam kosmik zaman prasejarah. Sementara, daerah yang tertutup
tembok masjid merupakan peninggalan tradisi Hindu-Buddha.
Terdapat
kesinambungan antara seni arsitektur Islam dengan tradisi sebelum Islam. Contoh
arsitektur klasik yang berpengaruh terhadap arsitektur Islam adalah atap
tumpang, dua jenis pintu gerbang keagamaan, gerbang berbelah dan gerbang
berkusen, serta bermacam unsur hiasan seperti hiasan kaya yang terbuat dari
gerabah untuk puncak atap rumah. Ragam hias sayap terpisah yang disimpan pada
pintu gerbang zaman awal Islam yang mungkin bersumber pada relief makara atau
burung garuda zaman pra-Islam. Namun sayang, peninggalan bentuk arsitektur itu
banyak yang dibuat dari kayu sehingga sangat sedikit yang mampu bertahan hingga
kini.
3. Kesusastraan
Karya
sastra merupakan alat efektif dalam penyebaran sebuah agama. Jalur sastra
inilah yang ditempuh masyarakat muslim dalam penyebaran ajaran mereka.
Karya-karya sastra bercorak Islam yang ditulis di Indonesia, terutama Sumatera
dan Jawa, awalnya merupakan gubahan atas karya-karya sastra klasik dan Hindu-Buddha.
Cara ini ditempuh agar masyarakat pribumi tak terlalu kaget akan ajaran Islam.
Selanjutnya, tema-tema yang ada mulai bernuansa Islami seperti kisah atau
cerita para nabi dan rasul, sahabat Nabi, pahlawan-pahlawan Islam, hingga
raja-raja Sumatera dan Jawa. Adakalanya kisah-kisah tersebut bersifat setengah
imajinatif; dalam arti tak sepenuhnya benar.
a.
Karya-karya Sastra Islam-Melayu di Sumatera
Sumatera
merupakan daerah pertama di Indonesia yang dipengaruhi Islam secara politis.
Kerajaan Islam tertua pun ada di sini, yakni Samudera Pasai di Aceh. Karya
sastra yang dibuat di Sumatera ini kebanyakan menggunakan bahasa Melayu yang
merupakan bahasa istana dan dagang, dengan aksara Arab. Karya sastra di
Sumatera ini macam-macam bentuknya, ada yang berwujud kesusastraan agama,
kesusastraan epos Islam, kesusastraan sejarah, pantun, cerita berinduk,
undang-undang, cerita binatang (fabel), bahkan persuratan. Sedangkan dalam
bentuknya ada yang puisi (syair) dan prosa. Berikut ini beberapa karya sastra
sejarah dan agama yang ada di Sumatera :
(1)
Hikayat Raja-Raja Pasai, menceritakan asal mula Kesultanan Samudera
Pasai yang didirikan oleh Sultan Malik as-Saleh yang sebelumnya bernama Merah
Sile (Merah Selu), putera bangsawan Pasai, Merah Gajah. Merah merupakan gelar
bagi bangsawan Sumatera Utara. Merah Sile masuk Islam setelah bertemu dengan
Syekh Ismail, seorang utusan Syekh Mekah. Syekh Ismail pula yang memberikan
nama Malik as-Saleh padanya.
(2)
Hikayat Aceh, menceritakan sebagian besar tentang masa kanak-kanak
hingga kebesaran Iskandar Muda; juga dikisahkan berdirinya Kerajaan Aceh.
Namun, nama penulis hikayat ini tak diketahui; yang jelas, penulisnya ini bisa
satu orang atau terdiri dari beberapa orang penulis yang bekerja untuk pihak
Aceh.
(3)
Syair Burung Pungguk, Syair Burung Pingai, dan Syair Perahu,
ketiganya hasil karya Hamzah Fansuri yang
memperkenalkan bentuk syair kepada khasanah sastra Melayu. Fansuri hidup pada
masa Sultan Iskandar Muda. Hamzah Fansuri memiliki seorang murid bernama Syekh
Syamsuddin as-Sumatrani (Syamsuddin Pasai).
(4)
Turjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), sebuah
kitab tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu karya Abdur Rauf Singkel, merupakan
buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Abdur Rauf
Singkel adalah pendiri Tarekat Syattariah di Aceh pada masa pemerintahan
Sultanah Safiatuddin Tajul Alam.
(5)
Hikayat Perang Palembang, para penulisnya tak diketahui, mengisahkan
perang antara pasukan Kerajaan Palembang melawan Hindia Belanda.
(6)
Hikayat Melayu, di antaranya menceritakan cerita Panji Damar Wulan,
perkawinan Sultan Malaka Mansur Syah dengan puteri Jawa dan Cina, serangan
Peringgi (Portugis) ke Malaka tahun 1511.
(7)
Bustan al-Salatin, yang ditulis Nuruddin ar-Raniri pada
masa Sultan Iskandar Thani, menceritakan sejarah Kerajaan Aceh, raja-raja
sebelum Iskandar Thani, masa kecil, perkawinan, pemakaman Baginda Iskandar
Thani, hingga tiga orang raja setelah Baginda. Selain itu, kitab ini pun
membahas proses penciptaan alam semesta, para nabi, pahlawan, bahkan ilmu
pengetahuan.
(8)
Syair Perang Mengkasar, ditulis oleh Encik Amin,
mengisahkan kejadian peperangan antara rakyat Makassar menghadapi VOC Belanda.
Sebentulnya
masih banyak lagi kitab sastra berjenis sejarah dan keagaman. Berikut ini karya
sastra tentang epos Islam : Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir
Hamzah, Hikayat Muhammad Hanifah. Sementara itu cerita berinduk contohnya Hikayat
Bayan Budiman. Keempat kitab tersebut ditulis pada masa Samudera Pasai.
Selain
Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin ar-Raniri; ada beberapa nama
pengarang Melayu yang cukup terkenal, di antara dari Riau, misalnya:
(1)
Datuk Syahbandar Riau, menulis Kitab Adab al-Muluk;
(2)
Bilal Abu, menulis Syair Siti Zawiyah;
(3)
Raja Ahmad, menulis Syair Raksi, Syair Engku Puteri, Syair
Perang Johor;
(4)
Raja Ali, menulis Hikayat Riau, Syair Nasihat;
(5)
Daeng Wuh, menulis Syair Sultan Yahya;
(6)
Raja Abdullah, menulis Syair Madi, Syair Kahar Mansyur,
Syair Sarkan;
(7)
Raja Ali Haji, merupakan penulis Melayu paling terkenal
sepanjang masa, karya-karyanya di antaranya adalah: Gurindam Dua Belas,
Syair Sultan Abdul Muluk, Bustan al- Katibin Li’l-Subyani al-Muta’alimin (Perkebunan
Jurutulis bagi Kanak-Kanak yang Hendak Menuntut Belajar akan Dia), Ikatikatan
Dua Belas Puji, Kitab Pengetahuan Bahasa, Syair Nasihat kepada Pemerintah,
Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya, Syair Hukum Nikah,
dan masih banyak lagi.
(8)
Tengku Said, menulis Hikayat Siak atau Sejarah
Raja-Raja Melayu;
(9)
Raja Hasan, menulis Syair Burung, dan masih banyak
penulis-penulis lainnya.
Selain
terdapat di Sumatera, kesusastraan Melayu berkembang pula di Banjar, Kalimantan
Timur, yang mulai berkembang pada abad ke-18. Karya-karyanya berupa kitab
keagamaan, undang-undang, dan sastra sejarah seperti Hikayat Banjar yang
menceritakan proses islamisasi rakyat Banjar yang melibatkan Samudera Pasai dan
Majapahit. Selain itu, ada pula karya-karya sastra yang ditulis di Semenanjung
Melayu (Malaka). Sejumlah kerajaan seperti Johor, Melaka, Brunei, dan Pattani
di Muangthai memiliki karya-karya sastra tersendiri yang juga memakai bahasa
Melayu. Pada perkembangan selanjutnya, sastra berbahasa Melayu merupakan
cikal-bakal kesusastraan Indonesia modern, sebagaimana bahasa Melayu merupakan
akar dari bahasa Indonesia.
b.
Karya-karya Sastra Islam di Jawa
Karya-karya
bercorak Islam di Jawa Barat, Tengah, dan Timur kebanyakan merupakan sastra
sejarah dan suluk. Di antaranya ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa
dan Sunda. Tidak seperti sastra-sastra Hindu-Buddha yang jumlahnya terbatas dan
sebagian hilang, karya-karya bercorak Islam jumlahnya lebih banyak dan cukup
terpelihara. Tema-temanya pun cenderung bersifat kesejarahan (meski sebagian
isinya dapat diragukan). Berikut ini beberapa karya sastra yang ditulis pada
masa Islam di Jawa, yaitu :
(1)
Sajarah Banten, umumnya menceritakan riwayat raja-raja Banten,
raja-raja Demak yang berkaiatan dengan para penguasa Jepara, kisah para sunan
dan wali Islam. Sajarah Banten, di antaranya, menulis Ki Dilah dari
Palembang yang pernah membangkang terhadap Majapahit dua kali; lalu Pati Unus
sebagai penguasa Demak diperintah untuk menundukkan Ki Dilah dan berhasil.
Menurut Sajarah Banten, Sunan Giri dan Bonang pernah belajar Islam di
Samudera Pasai.
(2)
Hikayat Hasanuddin, isinya lebih pendek dari Sajarah Banten,
memuat riwayat raja-raja Banten, Demak, Sunan Gunung Jati, serta nama-nama imam
di Mesjid Demak.
(3)
Serat Kandha, ditulis pada abad ke-18 yang bersumber dari karya-karya
penulis pesisir utara Jawa abad ke-16 dan 17, memuat kehidupan Sultan Trenggana
Demak.
(4)
Babad Mataram, merupakan ringkasan Serat Kandha, ditulis pada
abad ke-18 juga, keduanya menceritakan riwayat keluarga Mataram.
(5)
Babad Sangkala, memuat daftar-daftar tarikh (tahun) yang lumayan
kumplit tentang peristiwa-peristiwa sejarah pada masanya.
(6)
Sajarah Dalem, berisi silsilah keluarga raja Mataram-Islam yang
disusun di Surakarta (Solo) pada abad ke-19, di dalamnya terdapat pula daftar
generasi yang lebih tua dari raj-raja Mataram.
(7) Babad Tanah Djawi,
memuat asal-usul raja-raja di Jawa dari masa Hindu-Buddha hingga Islam.
Diceritakan bahwa rajaraja Jawa merupakan keturunan langsung dari Nabi
Adam, dewa-dewa Hindu, Arjuna dari Pandawa, Jayabaya raja Kediri,
raja-raja Mataram-Islam, hingga sepak terjang para Wali (terutama Sunan
Kalijaga) dalam menyiarkan Islam dan membangun Masjid Agung Demak. Dari babad
ini terlihat bahwa terjadi pencampuradukan antara kitab suci, alam mitologi
dewa Hindu, dunia pewayangan, dengan sejarah itu sendiri.
(8) Serat Rama, Serat
Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu,
karya sastrawan Yasadipura I, yang hidup dari tahun 1729 hingga 1803 yang hidup
pada masa Paku Buwono II Surakarta. Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan
besar Jawa. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno
(Kawi). Selain menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur
sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat
Menak. Ia pun menerjemahkan Dewa Ruci dan Serat Nitisastra
Kakawin. Ia menerjemahkan pula kitab Taj as-Salatin ke dalam
bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. Selain
itu, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat
Cabolek dan Babad Giyanti.
Selain
karya-karya di atas, ada pula kitab berbentuk suluk, yakni kitab berisi
syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat. Sampai saai ini,
suluk-suluk ini (biasa juga disebut Kitab Kuning) masih sering dibacakan oleh
kaum santri. Ajaran suluk ini dipelopori oleh para wali abad ke-16 dan 17, yang
memang ajaran mistiknya dapat diserap olek masyarakat Hindu- Buddha yang
sama-sama menyukai mistik. Berbeda dengan suluk di daerah pesisir yang lebih
menekankan nilai syariatnya, suluk di pedalaman (misalnya Mataram) lebih
cenderung bersifat kejawen.
Tujuan
ilmu suluk adalah pencapaian dengan kesatuan dengan Tuhan (orang Jawa bilang: manunggal
ing kawula-gusti) yang dikembangkan ulama kontroversial Persia, Al Hallaj,
dan pemikiran Ibnu Arabi; di Indonesia ada Siti Jenar. Suluk
Wijil, contohnya, merupakan ajaran-ajaran Sunan Bonang kepada muridnya
yang bertubuh kerdil bernama Wijil, mantan abdi Majapahit yang memeluk Islam. Suluk
Sukarsah, isinya mengisahkan seseorang yang mencari ilmu untuk mendapatkan
kesempurnaan. Berikut adalah beberapa contoh lain: Suluk Gatoloco, Suluk
Darmogandol, Suluk Walisanga.
Berikut
ini sepenggal syair yang diambil dari Suluk Ratna :
Demikianlah persemayaman
tauhid Dua yang menyatu
Ibarat kertas dan putihnya
Namun setelah sadar
Bukan Aku, bukan kamu
Dan Aku bukan kamu
Ibarat kuku hitam
Yang sesungguhnya berbeda dengan kuku putih
Hamzah
Fansuri menyebutkan syair-syair sebagai Islam suluk. Syair Prahu yang
mengibaratkan manusia sebagai perahu yang mengarungi lautan zat Tuhan dengan
manghadapi segala macam marabahaya yang hanya dapat dihadapi oleh tauhid
dan makrifat serta Syair Si Burung Pingai yang mengibaratkan
jiwa manusia sebagai seekor burung, sebagai Zat Tuhan. Sebenarnya masih banyak
lagi karya sastra pada periode Islam ini. Kebanyakan masih seputar
peristiwa-peristiwa sejarah sejak Islam menginjakkan pengaruhnya di Indonesia,
terutama Jawa. Hampir semua karya sastra di atas dianalisis oleh sejarawan
asing, terutama Belanda yang begitu tertarik dengan naskah-naskah kuno
tersebut. Banyak di antara karya sastra tersebut tersimpan aman di perpustakaan
Universitas Leiden di Belanda.
4. Seni Rupa dan Kaligrafi
Seni
rupa dalam dunia Islam berbeda dengan seni rupa dalam Hindu-Buddha. Dalam
ajaran Islam tak diperbolehkan menggambar, memahat, membuat relief yang
objeknya berupa makhluk hidup khususnya hewan. Maka dari itu, seni rupa
Islam identik dengan seni kaligrafi.
Seni
kaligrafi adalah seni menulis aksara indah yang merupakan kata atau kalimat.
Dalam Islam, biasanya kaligrafi berwujud gambar binatang atau manusia (tapi
hanya bentuk siluetnya saja). Ada pula, seni kaligrafi yang tidak berbentuk
makhluk hidup, melainkan hanya rangkaian aksara yang diperindah. Teks-teks dari
Al-Quran merupakan tema yang sering dituangkan dalam seni kaligrafi ini.
Sedangkan, bahanbahan yang digunakan sebagai tempat untuk menulis kaligrafi ini
adalah nisan makam, pada dinding masjid, mihrab masjid, kain tenunan atau
kertas sebagai pajangan atau kayu sebagai pajangan. Selain huruf Arab, tradisi
kaligrafi dikenal pula di Cina, Jepang, dan Korea.
5. Seni Tari dan Musik
Dalam
bidang seni tari dan musik, budaya Islam hingga sekarang begitu terasa dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam perjalanannya, kebudayaan
Islam sebelum masuk ke wilayah Indonesia telah dahulu bercampur dengan
kebudayaan lain, misalnya kebudayaan Afrika Utara, Persia, anak Benua India,
dan lain-lain. Dan telah menjadi hukum alam, bahwa setiap tarian memerlukan
iringan musik. Begitu pula seni tari Islami, selalu diiringi alunan musik
sebagai penyemangat sekaligus sebagai sarana perenungan. Lazimnya tarian-tarian
ini dipraktikkan di daerah pesisir laut yang pengaruh Islamnya kental, karena
daerah pesisir merupakan tempat pertama kali Islam berkembang, baik sebagai
kekuatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
a. Debus
Kesenian
ini sebetulnya telah ada sebelum Islam lahir. Tarian debus berkembang di daerah
yang nuansa Islamnya cukup kental, seperti Banten, Minangkabau, dan Aceh.
Pertunjukan debus ini diawali dahulu oleh nyanyian atau pembacaan ayat-ayat
tertentu dalam Al-Qur’an serta salam (salawat) kepada Nabi Muhammad. Pada
puncak acara, para pemain debus menusuk-nusukkan benda tajam ke hampir seluruh
badannya, namun tetap kebal sehingga benda tajam tidak mempan menusuk atau
mengiris tubuhnya.
b.
Seudati
Tari
seudati berkembang di Aceh, derah di Indonesia yang pertama dipengaruhi budaya
Islam. Kata “seudati” berasal dari kata syaidati, yang
artrinya permainan orang-orang besar. Tarian seudati sering disebut saman (yang
berarti delapan) karena permainan ini mula-mula dilakukan oleh delapan pemain.
Dalam tari seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu yang isinya berupa
salawat terhadap Nabi.
c. Zapin
Selain
tari seudati dan debus, ada sebuah jenis tarian yang hampir ada di seluruh
Nusantara, terutama daerah yang pengaruh unsur Islam sangat kuat, di antaranya
tari zapin yang dipraktikkan di Deli, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,
dan Lampung. Di Pulau Jawa, tarian zapin ini dilakukan oleh masyarakat Jakarta,
Pekalongan, Tuban, Gresik, Bondowoso, Yogyakarta, Madura, Nusa Tenggara. Di
samping Sumatera dan Jawa, daerah Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Seram, dan
beberapa daerah di Maluku. Setiap daerah tersebut mengembangkan tarian zapin
ini menurut tradisinya masing-masing.
Kata
zapin sendiri ditafsir berasal dari kata Arab, zafin yang berarti
melangkah atau langkah. Bisa pula dari kata zaf (alat petik berdawai
12 pengiring tarian) atau dari al-zafn (mengambil langkah atau mengangkat satu
kaki). Tari ini dibawa oleh pedagang Arab, Persia, dan India pada abad ke-13.
6. Seni Busana
Dalam
agama Islam, ada jenis pakaian tertentu yang menunjukkan identitas umat Islam.
Jenis pakaian tersebut adalah sarung, baju koko, kopeah, kerudung, jilbab, dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar