Untuk mengatasi kurangnya konsumsi protein hewani dan rendahnya
penghasilan masyarakat Indonesia, usaha yang telah dilakukan adalah
meningkatkan produksi peternakan. Salah satu usaha kea rah tersebut adalah
penerapan teknologi modern dalam reproduksi. Teknologi yang dimaksud adalah
Inseminasi Buatan (IB) dan transfer embrio (TE) (Toilihere, 1987).
Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan
betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami
implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai ppenerima sehingga
resepien tersebut menjadi bunting (Hartantyo, 1987).
Transfer embrio banyak dibicarakan di Indonesia pada akhir tahun 1982, sejak
datangnya seorang tamu penceramah dari Amerika Serikat yang menyampaikan suatu
bahasan mengenai TE. Ceramah diadakan di Balai Penelitian Ternak Ciawi yang
diikuti oleh para cendekia peternakan dari kalangan perguruan tinggi, lembaga
penelitian maupun Direktorat Jenderal Peternakan (Martojo, 1987).
Sedangkan teknologi transfer embrio untuk pertama kali diintroduksi pada sapi
di Cicurug Jawa Barat pada tahun 1984 dengan menggunakan embrio beku import
dari Texas, USA. Transfer dilakukan pada 77 ekor resepien dengan cara
pembedahan lewat daerah kampong oleh tim dari Granada Livestock Transplant Co,
USA (Putro, 1994).
Manfaat Transfer Embrio
Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah:
1. Untuk
meningkatkan populasi ternak unggul. Seekor sapi betina hanya mampu
menghasilkan 7 keturunan selama hidupnya, sedangkan dengan penerapan TE maka
seekor sapi betina mampu menghasilkan 448 keturunan selama hidupnya. (Rutledge,
1987).
2. Import
dan eksport embrio sebagai ganti ternak dewasa sehingga biasanya menjadi lebih
ekonomis. Transfer embrio juga memungkinkan hewan melahirkan anak dari spesies
lain, misalnya kuda melahirkan zebra, domba melahirkan kambing seperti yang
terjadi di Louisville Zoo (Atmawidjaja, 1987).
3. Manfaat
lainnya adalah memperoleh keturunan dari induk yang kurang fertile, induk yang
dimaksud adalah betina yang menderita oobstruksi tuba falofia yang bilateral
total dan betina yang menderita adesi fimria bilateral total (Martojo, 1987).
Prosedur Transfer Embrio
Seleksi Hewan Donor dan Resepien
Seleksi sapi betina donor untuk transfer embrio harus mempertimbangkan
faktor-faktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai produktivitas yang tinggi,
sehat, mempunyai siklus birahi yang regular mulai pubertas. Angka servis tiap
konsepsi tidak lebih dari 2. Mempunyai kinerja yang baik, dan tidak pernah
mengalami kesulitan melahirkan maupun gangguan reproduksi yang lainnya.
Sedangkan syarat hewan resepien adalah sapi muda yang bebas
penyakit, kinerja yang bagus, dan proses kelahiran sebelumnya mudah. Kandidat
resepien perlu diperiksa dengan cermat kondisi kesehatan tubuh maupun status
reproduksinya (Putro, 1994).
Superovulasi Hewan Donor
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ova lebih
banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormone dari
luar (Hartantyo, 1987).
Superovulasi memerlukan sediaan gonadotropin yang kaya akan atau meniru efek
FSH (follicle stimulating hormone). Disamping itu FSH harus ada dalam periode
yang cukup untuk memacu pertumbuhan dan pematangan akhir folikel. Sediaan FSH,
PMSG (Pregnant mare’s serum gonadotropin) dan HCG (human chorionic
gonadotropin) merupakan agen gonadotropin yang lazim digunakan untuk
superovulasi. Hasil superovulasi meliputi jumlah embrio dan kualitas embrio
sangat bervariasi dan sulit diramalkan.
Respon hewan terhadap preparat gonadotropin tergantung dari musim, bangsa,
makanan, macam preparat yang dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus
birahi, dan frekuensi pemberian dan dosis gonadotropin yang digunakan
(Hartantyo, 1987).
Preparat gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal yaitu hari
ke-8 sampai 12 siklus birahi yang diikuti dengan pemberian preparat
prostaglandin F2-alfa (PGF2-alfa) untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase
proestrus yaitu hari ke-16 sampai 20 siklus birahi tanpa diikuti dengan
pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa
diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG, namun jika menggunakan FSH, maka
PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau bersamaan dengan pemberian FSH yang
ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada sapi Bali adalah 24 mg untuk setiap
ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan diberikan 2 kali sehari selama 4
hari berturut-turut (Putro, 1986; Hartantyo, 1987).
Di Indonesia PMSG lebih banyak digunakan karena dapat diperoleh dengan mudah
dan lebih murah dibandingkan dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum gonadotropin
merupakan glikoprotein komplek yang mempunyai aktivitas biologi seperti FSH dan
LH; dimana aktivitas FSHnya lebih besar. PMSG mengandung asam sialat 10,8% yang
berfungsi mencegah degradasi glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper,
1986).
Pada spi PMSG mempunyai daya kerja yang cukup panjang waktu
paruhnya, yakni antara 2-5 hari, sedangkan residunya tetap ada dalam sirkulasi
darah sampai 10 hari. PMSG bekerja dengan kemampuannya mencegah atau menghambat
proses atresia dari folikel ovaria (Putro, 1994).
Sediaan PMSG di Indonesia dapat diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang
Folligon. Dosis PMSG yang dianjurkan pada sapi adalah 1:500-3.000 IU yang
disuntikkan secara intramuskuler tiap donor sapi. Untuk membantu proses ovulasi
dan mencegah terjadinya folikel anovulasi kadang-kadang perlu diberikan HCG
awal birahi dengan dosis 1.500-3.000 IU per ekor (Anon, 1991).
Waktu paruh PMSG yang panjang menimbulkan problema overstimulasi ovaria.
Problem ini dapat diatasi dengan injeksi intravena antibody monoclonal terhadap
PMSG (anti-PMSG) pada saat inseminasi. Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang
ada dengan menurunkan 85% konsentrasi PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan
sampai konsentrasi yang tidak dapat dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah
satu anti-PMSG yang dapat diperoleh di pasaran adalah Neutra-PMSG (Putro,
1994).
Sinkronisasi Birahi
Sinkronisasi birahi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengendalikan
siklus birahi sekelompok hewan betina sehingga birahi terjadi dalam waktu yang
bersamaan atau paling tidak dalam waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE teknik
sinkronisasi birahi dapat dipakai untuk menyeragamkan stadium siklus birahi antara
hewan donor dan hewan resipien. Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan
berhasil ke dalam uterus hewan resipien jika stadium siklus birahinya bersamaan
dengan keadaan uterus hewan donor (Toilihere, 1981).
Sinkronisasi perlu dilakukan setelah perlakuan superovulasi agar waktu ovulasi
terjadi dalam waktu bersamaan. Untuk keperluan ini perlu adanya induksi
luteolisis dengan agen luteolitik. Agen luteolitik yang sudah teruji manfaatnya
adalah PGF2-Alfa. Birahi pada sapi yang sudah di superovulasi akan timbul dalam
waktu 36-48 jam setelah pemberian PGF2-Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi
birahi betina resipien perlu diketahui terlebih dahulu siklus birahinya, karena
corpus luteum sapi peka terhadap PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14 siklus birahi.
Jika pada waktu korpus luteum peka diberi perlakuan maka birahi akan timbul 1-4
hari atau rata-rata 2 hari setelah penyuntikan PGF2-Alfa. Jika kita belum
mengetahui siklus birahi sapi tersebut maka dilakukan penyuntikan PGF2-Alfa 2
kali dengan interval 10 hari (Hartantyo, 1987).
Sediaan prostaglandin yang tersedia di pasaran antara lain: Estrumate
(Cloprostenol, ICI Pharm. Co, Cambridge, UK) dosis luteolitiknya 500 mg;
Reprodin (Luprostiol, Bayer Indonesia) dosis luteolitiknya 15 mg; Lutalyse
(Dinoprost tromethamine, Upjohn, Kalamazoo, USA); dan Prosolvin (Luprostiol,
Intervet Int. B.V., Bormeer, Holland) dosis luteolitiknya 15 mg. aplikasi
sediaan prostaglandin tersebut dianjurkan dengan cara injeksi intramuskuler
(Putro, 1994).
Perkawinan Hewan Donor
Perkawinan hewan donor dapat dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB).
Apabila dikawinkan secara IB maka diperlukan dosis ganda yang aplikasinya satu
dosis diberikan 6 jam setelah menunjukkan gejala birahi dan satu dosis lagi
diberikan 6 jam kemudian (Hartantyo, 1987; Putro, 1986).
Pemanenan Embrio dari Donor
Koleksi embrio hewan donor dapat dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah
perkawinan, pada waktu embrio sudah berada pada kornua uteri. Pemanenan embrio
yang sudah pernah dilakukan pada sapi Bali yaitu pada hari ke-7 setelah
perkawinan.
Perlengkapan yang diperlukan untuk pemanenan embrio adalah:
1. Sterio
mikroskop
2. Foley
cateter
3. Larutan
PBS
4. Pipa
kaca berbentuk Y
5. Cawan
petri
6. Selang
dan jarum suntik
Hewan donor dipersiapkan terlebih dahulu dengan jalan disuntik
acethyl promazin dosis 6 mg per ekor.Selanjutnya sapi dimasukkan ke kandang
jepit, daerah sekitar vulva dibersihkan dan diberi desinfektan dan alcohol 70%.
Anastesi epidural dilakukan segera sebelum katerisasi, dengan Lignocaine 2%
dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi yang diberikan adalah untuk mengurangi rasa
sakit, mencegah pengejanan maupun pengeluaran kotoran yang mengganggu
pelaksanaan pembilasan.
Cara Pemanenan:
1. Stilette
Cassou Insemination Gun dimasukkan ke dalam kateter supaya menjadi kaku,
selanjutnya kateter diberi pelumas.
2. Dengan
palpasi rectal, kateter dimasukkan perlahan-lahan melewati vagina, cerviks,
terus ke kornua uteri sampai 2/3 panjang kornua.
3. Selanjutnya
balon kateter diisi udara atau air sebanyak 5 ml, kemudian stiletto gun
ditarik. Pipa kaca berbentuk hurup Y dipasang, dimana ujung-ujungnya telah terpasang
selang penghubung.
4. Larutan
PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml tergantung besar hewan sampai menghabiskan
500 ml setiap kornua.
5. Hasil
bilasan uterus ditampung dalam beker gelas dan dibiarkan mengendap selama 30
menit, selanjutnya supernatannya dibuang dan sisanya dievaluasi di bawah sterio
mikroskop.
Evaluasi embrio dilakukan di bawah sterio mikroskop dengan
pembesaran lebih dari 40 kali. Embrio yang didapat harus mempunyai stadia yang
relative sama; yaitu stadium morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat
menjadi masa yang lebih kompak), dan blastosis awal (mempunyai blastosel).
Adanya embrio yang stadium pertumbuhannya kurang dari 32 sel menunjukkan adanya
kelambatan pertumbuhan. Embrio yang didapat dari media pembilas diambil
menggunakan mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam straw mini atau medium
bening yang transparan.
Transfer Embrio ke Betina Resipien
Transfer embrio segar maupun beku ke resipien dilakukan pada hari siklus birahi
yang sama dengan umur embrio (karena embrio dipanen pada umur 7 hari) maka
siklus birahi resipien yang dapat dipakai adalah 7 ± 1 hari setelah birahi atau
birahi hewan donor dan resipien minimal dalam 24 jam (Heath, 1982).
Transfer dilakukan langsusng ke kornua uteri kurang lebih 5-10 cm dari
bifurkasio uteri. Resipien yang tidak menunjukkan gejala birahi setelah 3
siklus birahi yang diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan per
rectal untuk menentukan berhasil tidaknya program transfer. Pemeliharaan
resipien yang telah bunting sama seperti pemeliharaan-pemeliharaan pada hewan
bunting pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar